SUMBING KALA ITU
Mentari sangat cerah disiang itu mengiringiku berangkat menuju Basecamp TANTRA di Pamulang. Tadinya aku berpikir trip kali ini hanya sekedar mengisi kekosonganku saat liburan, tapi waktu 4 hari yang kita jalani sangat berkesan, ingin ku mengulang kembali perjalan bersama mereka “The TANTRAIS”.
Sabtu, 18 Juli 15:00 WIB tepat satu hari setelah lebaran aku bersama enam personil TANTRA Bang Ary, bang Kacho, bang Leo, bang Rawink, bang Bedul dan bang Izul memulai perjalanan kami ke Wonosobo. Perjalanan yang cukup panjang, kami mendarat di Alun alun Wonosobo pukul 5 pagi, langit masih kelam dan udara masih amat dingin, kami berjalan menuju mesjid segera menunaikan sholat subuh.
Matahari telah menampakkan sinarnya, kami sarapan di alun-alun yang mulai didatangi banyak orang, ini pertama kalinya aku meginjakkan kaki ditanah Jawa Tengah, sungguh berbeda dengan kampung halamanku Sumatera Barat. Aku kaget sekali, Wonosobo selain indah makanannya murah-murah, aku jadi ingin lama-lama berwisata kuliner disini. Waktu kian memburu kami, sambil menunggu bang Tarwan dan adiknya dari Purbalingga, kami memutuskan membeli logistik, aku yang tidak tahu apa-apa hanya menyimak para pejantan gunung ini menawar-nawar harga barang,wah lumayan berpengalaman juga mereka dipasar, terkadang lucu saja melihat para lelaki belanja sayuran dipasar, pemandangan yang sulit didapat, kami sempat bercakap-cakap dengan beberapa pedagang, melihat carrier yang berada dipunggung kami mereka langsung tahu kami akan mendaki, mereka bilang gunung Sindoro kebakaran, sebaiknya mendaki gunug Sumbing saja, keinginan untuk mendaki dua gunung itu batal, Sumbing jadi tujuan utama kali ini.
Logistik selesai, bang Ary sebagai ketua yang tahu seluk beluk menuju Sumbing mulai menawar supir angkot yang bisa mengantarkan ke basecamp Sumbing di daerah Garung, dengan keahlian bang Ary kami mendapatkan harga yang relatif murah ke Basecamp Sumbing. Disepanjang jalan menuju basecamp, aku menikmati pemandangan alam Wonosobo yag sejuk, beruntungnya aku saat itu ada acara pelepasan Balon udara oleh warga setempat, tradisi ini biasanya diadakan setelah lebaran. Balon udara mulai memenuhi langit yang cerah, mobil kami melewati balon udara besar yang masih dihias dihalaman rumah warga.
Kami tiba di basecamp Sumbing yang masih sepi, tidak terlalu banyak pendaki disana, mungkin karena masih suasana lebaran. Pukul 9 WIB, bang Tarwan dan adik sepupunya sampai juga di basecamp. Pukul 10 siang, kami mulai berjalan dari basecamp, jalur yang akan dilalui di pendakian kali ini adalah jalur baru. Sebelum berangkat tak lupa kami berdoa bersama agar perjalanan ini lancar dan tak kurang satu apapun saat kembali ke Jakarta. Perjalanan menuju Pos I cukup jauh ternyata, gunung Sumbing dengan ketinggian 3371 mdpl memiliki 4 pos yang jarak masing-masingnya lumayan jauh. Berfoto ria jadi obat utama pengusir penat. Pemandangan pendakian Sumbing yang indah ditemani latar belakang Sindoro yang menatap gagah mengeluarkan asap dari badannya yang terbakar, cepet pulih lagi Sindoro.
Setelah beberapa jam perjalanan, kami tiba di Pos I dengan kondisi yang kelaparan haha, memang jam telah menunjukan waktu makan siang, peralatan masak mulai dikeluarkan, para lelaki mulai memasak menu makan siang, sedangkan aku sehabis sholat malah tidur hehe, satu-satunya perempuan soalnya jadi biarkan para lelaki berkreasi , bang Tarwan, bang Ary, bang Kacho dan bang Ijul sibuk meramu masakan. Beginilah kalo naik gunung perempuannya cuma sendirian, jadi dimanja deh. Setelah membersihkan sisa masakan, kami melanjutkan perjalanan yang masih panjang. Semangat!
Pendakian kali ini diluar dugaanku, menuju puncak nya lama sekali, Sumbing adalah pendakian gunung 3000 ku yang pertama, ini baru rasanya benar-benar mendaki. Kulihat teman-teman yang lain mulai kelelahan, apalagi bang Leo si bule Arab mulai oleng karena carrier yang dibawa lumayan tinggi, ceritanya dia lagi di diksar jadi porter TANTRA. Pos demi pos telah dilalui, namun Pasar Setan (dibaca: Pestan) belum juga menampakkan wajahnya, hingga menjelang maghrib dan udara dingin mulai menusuk tulang, dengan mengumpulkan semua sisa tenaga yang ada aku mempercepat langkah agar tiba sebelum gelap di Pestan. Dan... Akhirnya, aku bisa sampai Pestan urutan kedua setelah bang Ary huurayyy.
Temanteman yang lain mulai berdatangan, semua peralatan dikumpulkan, tenda pun dipasang, seperti sebelumnya, para lelaki sibuk dan aku beristirahat sejenak sambil menunggu mereka, kalau naik gunungnya seperti ini terus suka sekalii (jangan dicontoh ya). Tiga tenda telah dipasang, lampu pun menyala terang, saatnya menikmati makan malam dan yang masak lagi-lagi mereka para chef pejantan gunung, serasa layaknya sang putri disini, masakan mereka enak lho ternyata, atau mungkin karena dingin atau memang lapar yaa haha.
Indahnya tebaran bintang dilangit Sumbing malam itu tidak bisa ku pandangi terlalu lama, malam yang sangat dingin hampir membuatku beku dibalik jaket tebalku, dinginnya jauh dari yang kubayangkan. Tapi dinginnya malam ini diselimuti tawa canda yang hangat dari abang-abang yang kocak ini, entah itu saling meledek atau malah sesi curhat.
Waktu semakin memburu, pukul 8 pagi kami berangkat menuju Puncak Kawah dan Puncak Batu Sumbing, semua barang ditinggalkan ditenda, kami hanya membawa perlengkapan dan logistik menuju puncak dan lagi-lagi bang Leo si bule Arab yang ditugaskan membawa carrier logistik kami, yang lainnya hanya membawa tas kecil berisi
barang-barang berharga dan jangan sampai ditinggal ditenda karena keamanannya tidak terjamin, sedangkan aku hanya melenggang menuju atas. Perjalanan menuju puncak masih cukup jauh, dan kami mencoba mendaki tanpa sarapan, ayo kita buktikan apakah kuat tanpa sarapan menuju puncak?
Semakin lama langkahku makin gontai, ditambah panas terik yang mulai terasa, debu yang mulai beterbangan, siang begitu cepat mengejar,waktu sangat cepat berlalu rasanya. Aku memakai tongkat dari bang Kacho agar kuat melangkah, sebenarnya bukan tongkat tapi tongsis haha, ceritanya tak ada tongkat tongsis pun jadi. Hingga sampailah di batu gede yang merupakan rekomendasi dari bang Tarwan memiliki pemandangan yang bagus dan background yang pas untuk foto-foto, dan terjadilah foto massal di batu itu, terciptalah model dadakan gunung Sumbing versi TANTRA. Selesai sesi foto membuatku semangat lagi melangkah, tak lama kami menanjak, kami disuguhi tumbuhan bunga edellweiss yang mekar, sudah sejak lama aku mengimpikan foto disamping bunga edellweiss yang mekar dan mimpi itu telah terwujud, wow senangnyaa, senang sekali. Tapi, jangan sampai dipetik ya, ingat ingat.
Akhirnya, pukul 11 siang kami sampai di watu kotak, kenapa disebut watu kotak (:batu kotak) karena ada lubang dibatu yang berbentuk kotak, panas matahari menyinari watu kotak dan kami terpaksa berteduh dibalik watu kotak tepi jurang yang cukup berbahaya, kulihat Bang Leo bule Arab mulai oleng, ya membawa carrier yang cukup berat , menanjak ke puncak yang treknya lumayan membuat kaki gempor, tanpa sarapan pula, pasti kalau itu aku sudah tidak lambaikan tangan ke kamera, sarapan disiang hari itu pun berlangsung di watu kotak, kami beristirahat cukup lama di watu kotak sambil menikmati pemandangan lereng gunung dan full view of Sindoro yang tampak gagah menemani perjalanan.
Perjalanan dilanjutkan kembali menuju puncak Kawah , masih separuh perjalanan lagi, aku berusaha menguatkan kaki ini agar terus melangkah untungnya ada bang Tarwan yang setia menggerekku dengan tongsis yang dijadikan trackpoll, meskipun sampai di puncak tongsisnya rusak gara-gara aku, maaf ya Bang Rawink tongsis abang rusak hihihi. Akhirnya pukul 1 siang sampai juga di puncak Kawah, wah... Legaaa rasanya, puncak Kawah tidak terlalu luas, kita harus hati-hati berada disana agar tidak terjatuh ke kawah, bau belerang mulai tercium, ngeri juga rasanya jika melihat ke bawah, serasa akan terjatuh ke kawah, puncak kawah dipenuhi oleh batu-batu besar dan beberapa tanaman Chantigi. Bang Ari, bang Kacho dan bang Tarwan menuruni kawah yang lainnya menunggu di tebing, aku, bang Ijul, bang Rawink dan bang Leo memilih menghabiskan waktu berfoto ria di batu besar.
Pukul 2 siang kami beranjak turun, kami baru sadar kalau persediaan air sudah habis, untungnya masih ada beberapa Apel dari bang Ijul, sambil turun kami memakan buah Chantigi yang untungnya disediakan alam buat pendaki, sungguh “Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?” hingga dipuncak gunung pun Tuhan masih memberi Nikmat dan Rahmat-Nya.
Turun gunung kali ini aku tidak mau lagi membuat kakiku gempor seperti ketika aku turun dari puncak gunung Cikuray, aku belajar turun gunung sambil berlari dari abang-abang senior ini, awalnya aku merasa takut, bang Tarwan lagi-lagi setia menggerekku dari atas, bang Tarwan menahan ku yang berlari turun dari belakang, jadi aku tidak takut tergelincir kebawah jika tidak bisa menahan dengan kaki. Ternyata memang lebih enak kalau turun sambil berlari, capeknya tidak berasa, sampai dibawah juga cepat, walaupun jari kakiku sakit menahan tumpuan ketika berlari turun.
Tidak selang satu jam kami sudah sampai di Pestan, cepat juga kalau sambil berlari, semuanya langsung packing barang dan bongkar tenda karena jam sudah menunjukan pukul 4 sore, ya.. sudah terlalu sore dan kami harus turun gunung hari itu juga. Sebagian bongkar tenda, ada yang packing dan bang Tarwan sang Chef gunung Tantra memasak tempe mendoan buat kami, dan aku membantu mengumpulkan sampah saja, ya semua sudah dikerjakan oleh para lelaki, aku tiduran sambil menunggu mendoannya matang, wah tidur dirumput gunung beratap langit luas berpagar angin dingin dan diselimuti hawa dingin, serta aroma gorengan mendoannya bang Tarwan, dan aku pun terlelap.
Pukul 5 sore kami mulai beranjak turun, tak lupa berdoa lagi sebelum turun, karena sore telah menjelang kemungkinan kami bisa turun dalam keadaan gelap, sangat berbahaya sebenarnya turun dalam gelap, untungnya tak lupa headlamp dan senter.
Langit semakin gelap, kakiku semakin susah diajak melangkah, dalam keadaan cahaya yang sedikit dan bantuan pegangan tongkat kayu dari bang Tarwan aku memaksakan diri berlari turun, yang paling terakhir turun hanya ada aku, bang Tarwan dan bang Ijul yang lainnya mugkin sudah mencapai pos I. Aku merasa tidak enak melihat bang Tarwan dan bang Ijul masih setia mengiringiku berjalan dikegelapan, aku menguatkan kaki berlari menyusuri jalan, kasihan juga bang Tarwan yang aku seret-seret sambil berlari turun. Akhirnya dengan perjuangan yang lumayan kami sampai di Pos I. Disana yang lainnya sudah menunggu, demi aku mereka semua jadi menunggu lama dan kemalaman. Dua jam aku sampai di Pos I, kali ini rekor waktuku lumayan cepat dari pendakian sebelumnya, menurutku kekuatanku mulai terlatih dari sebelumnya, setidaknya ada kemajuan. Di Pos I ternyata ada ojek yang bersedia mengantarkan sampai ke basecamp, kulihat hari semakin gelap, sudah pukul 7 malam, agar aku tidak menyusahkan mereka lagi aku memilih turun ke basecamp menggunakan ojek, sebenarnya ingin aku melanjutkan perjalanan dengan mereka hingga akhir, tapi aku tak kuasa menahan desakan mereka sedangkan bang Rahman juga ikut menemaniku agar aku mau naik ojek, yah mau tidak mau aku menurut sajalah. Perjalan naik ojek ternyata ngeri juga, jalanannya yang terjal dan berbatu-batu serta diiringi jurang dipinggirnya rasanya aku ingin jalan kaki saja, aku memejamkan mata sambil berdoa didalam hati, huff akhirnya perjalanan dimotor yag rasanya cukup panjang itu mendarat juga di basecamp Sumbing, aku menghembuskan nafas panjang.. Wah rasanya lebih serem naik ojeknya daripada naik gunungnya, oh tidakkk.
Pukul 7 malam aku dan bang Rahman sampai di basecamp Sumbing, disusul bang Leo setelahnya sedangkan yang lainnya masih dalam perjalanan dari Pos I. Pukul 20.30 WIB akhirnya semua sudah berkumpul dibasecamp, kami memasak makan malam dan membersihkan diri. Malam nya kami mendirikan tenda didepan Basecamp, ya basecamp ramai sekali malam itu, banyak yang turun mendaki dan ada pula yang bersiap mendaki besoknya, kami memutuskan mendirikan tenda didepan basecamp, malam yang semakin dingin membuat perut jadi lapar, bang Tarwan sang koki Tantra beraksi lagi membuat nasi goreng yang enak malam itu, bang Tarwan koki paling top deh, dua jempol untuk bang Tarwan.
Esoknya, pukul 7 pagi kami berangkat meggunakan bis menuju alun-alun Wonosobo, seharian mengelilingi alun-alun sambil menunggu jadwal bis menuju Jakarta, suasana lebaran yang masih terasa ditambah arus balik mudik mendapatkan tiket bus lumayan susah, untungnya dengan bakat cekatan bang Ary kami mendapat tiket juga walaupun jadwalnya jadi pukul 4 sore, ya tak apalah setidaknya bisa menikmati udara Wonsobo lebih lama. Perjalanan menuju Jakarta sangat lama apalagi ditambah macet arus balik, sekitar 20 jam lamanya kami diperjalanan, tak terbayangkan betapa pegalnya tubuh ini. Pukul 1 siang kami mendarat di terminal Lebak Bulus, dilanjutkan menyewa angkot menuju basecamp yang dipandu jurus jitu tawar-menawar bang Ary.
Akhirnya, sampailah di basecamp kita tercinta TANTRA ADVENTURE, senangnya sesampainya di Basecamp disambut dengan es sirop oleh bang Jek, terima kasih juga buat bang Landax mengobati kaki ku yang sudah tertatih-tatih berjalan. Terima kasih keluarga TANTRA sudah berkenan mengajakku serta, terima kasih Sumbing dan Sindoro mengizinkan kaki ku menapak di puncak indahmu. Sampai bertemu di pendakian selanjutnya.Salam Lestari.
#Estimasi Biaya & Waktu Perjalanan :
Sabtu, 18 Juli 2015,
15.00 - 05.00 : Lebak Bulus – Wonosobo (± 17 jam) tiket bis Rp. 165.000,-
Minggu, 19 Juli 2015,
08.30 - 09.00 : Alun-alun - Basecamp Sumbing Rp. 20.000,-/orang
10.00 - 14.00 : Pos I
14.00 - 18.00 : Pestan
Senin, 20 Juli 2015,
08.00 - 12.00 : Pestan– Puncak Kawah (± 4 jam)
14.00 - 16.00 : rundown to Pestan
17.00 - 19.00 : Pos I
19.00 - 20.30 : Basecamp Sumbing
Selasa, 21 Juli 2015
07.00 - 16.00 : menuju Alun-alun Wonosobo
17.00 - 13.00 : Terminal Wonosobo - Jakarta (macet arus balik) Tiket Rp. 135.00
Rabu, 22 Juli 2016
13.00 : Menapak Basecamp TANTRA
Gunung Sumbing 3371 mdpl, 18-23 April 2015
NURHAFIZAH FAISAL
Email : chafaisal.isofund@gmail.com
NURHAFIZAH FAISAL
Email : chafaisal.isofund@gmail.com
